CINTA LAKI-LAKI BIASA
Cerpen Asma Nadia
Menjelang hari H, Nania masih saja
sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru
setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar,
keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak
orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka
ternyata sama herannya.
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania
mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania
sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu.
Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu
merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai
kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania
terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya
menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira
punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan
laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar
berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania
menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap
momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab
kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum
yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor
dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka
serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening.
Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka
yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil
menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa
tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling
cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena
kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya
benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti
tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk
layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan
Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada
penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya
tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling
cantik.
Sebab kamu paling berprestasi
dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga
juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar
lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang,
kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang
yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan
rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania
lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya
pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan
sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang
mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa,
dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan
pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania
mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia,
Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada
tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi
manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa
depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal
membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu
bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang
bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan
perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga.
Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan
hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia
lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan
kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu
besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari
sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana
yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai
sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap,
tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang
lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai
gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!
Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya
siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh
meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak
itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng
kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya
lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses.
Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa
meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami
seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat
Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan
itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan
berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki
dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli
bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu
sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu,
ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup,
maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati
lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar
selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk
jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut.
Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran
Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak
orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki
biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa,
dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan
Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan,
posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah
Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di
dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap
Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor,
bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan
Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya
cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi.
Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh
dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup
Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania
mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai
hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga
mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah
berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan
Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan
kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika
semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi
tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu
meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat
tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah
dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda
akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu
tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata
seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih
sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang
memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru
pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka
terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban
pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak
bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya.
Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat
sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin
terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa
tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha
mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman
tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring
ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa
menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa
berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya
naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan
di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari
luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan
keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air
yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi
dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi
kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis.
Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil
menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer
yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir
di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas
cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh
doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma.
Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi
perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang
baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya
hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania
terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan
melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan
antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia
nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di
rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan
izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang
dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang
terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan
menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu
bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak
mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya
berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan
pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang.
Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam
tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke
rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian
ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan
Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal.
Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania,
semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa
kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan
yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin
kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan
semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta
gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa
Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap
matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli
menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan
syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak
penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang
diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat
Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu
mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang
kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang
sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania
agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu,
memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali
Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan
lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang
terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya
pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia.
Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak
mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan
Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania
harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu
melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa
risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya
iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana
kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari,
mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat,
dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga
mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari
perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima
dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa
adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak
pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari
kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan
dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania
menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik,
barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu
kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan
anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut
tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan.
Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang
mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya
tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski
karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya.
Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang
sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar