Selasa, 19 Februari 2013

Lewat Tasbih ( Cerpen islami)



LEWAT TASBIH
Cerpen Dinda Candrasari

Kamar itu terlalu pengap untuk Reina melepas lelah hatinya, mungkin esok bisa ia nikmati kesejukkan pagi yang menentramkan hatinya nanti.
"Allah sangat mencintaiku daripada dirimu." Itulah kutipan terakhir yang Reina tulis dinote laptopnya..
Hari ini dia mendapatkan status terbaru dari kekasihnya yang tadi siang baru saja meninggalkannya untuk alasan yang sangat tak masuk akal bagi Reina.

Tapi Reina tak ingin terlalu memperdulikan masalah itu, karena sebelumnya ia tahu kekasihnya memang tak baik.
"Hhooaamm, ngantuk ah.. Good bye boy, I don't care with you ." sambil menutup lapotop kesayangannya Reina pun mulai memejamkan matanya.
Mungkin kekasihnya akan menyesal karena telah meninggalkan perempuan yang sangat sangat berbeda .
Gadis berjilbab, cantik, sholeh dengan segala keindahan dan kelembutannya yang hanya laki-laki tertentu yang mampu melihat keindahnnya.

Pagi pun membangunkan Reina dengan kesejukan yang berlinang dihatinya..
“Astagfirullahalazim telat bangun gue!” Reina bergegas mandi dan merapikan segala sesuatunya segera berangkat ke kampusnya..


Dia tancap sepeda motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi, tapi sayangnya sepeda motornya tidak mendukung bannya tertusuk paku, Reina pun terpaksa berhenti.
“Masya Allah, ada apa ? Udah telat banget ini.” Reina panik sambil melihat jam tangan yang terus saja bergulir menunjukkan jam 7 lewat.
Reina merasa bingung hingga akhirnya ia putuskan untuk tidak kekampus dan ia terduduk ditrotoar sambil menikmati udara pagi yang masih sejuk dan mencoba menghubungi ayahnya yang sudah 15 menit tidak mendapat jawaban dari seberang sana. Reina tidak mungkin berangkat jika sepeda motornya ditinggal dipinggir jalan tanpa banyak kendaraan yang lalu lalang.
Jalanan ini memang tidak terlalu banyak dilewati kendaraan, hanya beberapa kendaraan dari komplek perumahan ini saja yang lewat .

Reina membuka botol minum yang ia bawa, tenggorokannya mencekitnya dengan dahaga.
“Assalamualaikum..” Suara berat dan lembut itu menyapa Reina dari belakang, Reina terkejut sampai membuat minuman ditangannya tumpah ke jilbabnya.
“Aduh maaf maaf dik, kalau mengejutkan” Laki-laki itu pun jadi salah tingkah begitupun Reina, Reina langsung bergegas dari duduknya dan langsung berdiri refleks.
“Waalaikumsalam, gapapa kok ka.” Belum sempat ia menyelesaikan omongannya ia sudah terpana oleh laki-laki yang terlihat sangat alim, dewasa, lembut, dan tampan.
“Subhanallah.” Gumam Reina, dan ia langsung tersadar setelah tangan laki-laki itu melambai dihadapan mukanya “Astagfirullahalazim, maaf maaf ka. Ada apa ya ka?” Reina langsung mengalihkan pandangannya sambil membenarkan jilbabnya.
“Ada yang bisa saya bantu ngga? Abis kayanya lagi kebingungan nih.” Laki-laki itu mencari apa yang membuat perempuan ini terlihat bingung, dan akhirnya ia menemukan sebabnya.
“Ooh bannya bocor, disitu ada tukang tambal ban tuh, jalan sebentar mau ?” Reina hanya mengangguk, dan mengikuti lelaki ini dari belakang, hingga sampailah mereka di tempat tambal ban.

Disana Reina hanya duduk terdiam sambil sesekali melirik jam tangan miliknya, lelaki itu pun juga berada disebelahnya lalu lelaki itu berdiri dan pamit pergi kepada Reina.
“Eh kamu mau kemana ?” Tanya Reina dengan sigap.
“Saya ada kelas , saya harus ke kampus. Maaf tidak bisa menemani. Assalamualaikum.” Tanpa sempat Reina mengucapkan terima kasih laki-laki itu sudah membalikkan badan dan setengah berlari meninggalkan Reina. “Waalaikumsalam” Ucap Reina dalam selirih suaranya.
Entah mengapa setelah laki-laki itu meninggalkannya, jantung Reina berdetak tidak karuan gelisah langsung melanda dirinya, dia menemukan tasbih yang terjatuh didekat kakinya Reina langsung meraih benda itu dan digenggam kuat-kuat oleh Reina, percuma saja ia memanggil lelaki itu keburu menghilang dari pandangan.
Disalah satu sisi dari biji tasbih itu terukir inisial ‘MR’, ia pun kembali kerumah otaknya selalu mencoba mengingat wajah laki-laki sholeh yang menggetarkan jiwa tersebut.

Dikamar ia bercermin dan tetap saja otaknya mencari memori yang tadi pagi terjadi.
“Ya Allah, mengapa aku? Tidak boleh aku membayangkan seseorang yang bukan muhrimku.”
Reina meletakkan tasbih itu diatas meja rias ia juga melepas jilbabnya dan merebahkan diri, karena terlalu lelah berjalan bersama laki-laki melembutkan jiwa tadi.
****

2 Tahun kemudian semenjak kejadian dipagi hari yang lalu.
Seperti biasa Reina menjalankan hari-harinya, namun beberapa minggu ini ia sangat sibuk mempersiapkan acara baksos dan tafakur alam yang diadakan kampusnya untuk beberapa minggu nanti.
“Na, bengong aja sih ah ayolah bantu-bantu deadline nih. Nanti ka Raihan mau dateng.” Khaira menyadarkan sahabatnya dari lamunan yang menghanyutkan Reina.
“Ka Raihan siapa?”
“Itu kakak mentor dari UI. Makanya ayo jangan ngeliatin tasbih aja,tasbih tuh dibuat zikir bukan diliatin aja.”

Reina tiba-tiba saja teringat pemilik tasbih berinisial ‘MR’ itu ia mencoba untuk mengingat wajah itu tapi otaknya menyamarkan wajahnya sehingga ia mengabaikannya, tasbih itu selalu menemaninya selama 2 tahun belakangan ini, ia selalu berzikir dengan tasbih itu .
“Ah bawel banget sih best friend gua ini hehe, yaudah dilanjutin lagi nih.” Khaira hanya menggeleng-gelengkan kepala, dan Reina sibuk dengan aktifitasnya melupakan sejenak tentang pemilik tasbih itu.
Sore ini, ada seminar islami dikampus Reina.

Reina menjadi panitia dalam acara ini, ia sangat sibuk hari ini.
“Reina, nanti yang nyambut ka Raihan kamu aja yah.” Dosen Reina menyuruh Reina yang baru saja melepas lelahnya .
“Saya pak ? memang tidak ada yang lain ?”
“Panitia humas sedang menjemput penceramah lainnya, Cuma kamu yang bapak liat tidak sedang sibuk. Bisa yah?” Reina pun hanya mampu menganggukan kepala dan menghabiskan minumnya yang baru setengah ia tenggak tadi, handphone-nya berdering ..
“Rei, ka Raihan udah mau nyampe di depan masjid kampus tuh, cepet kesana yah.” Khaira langsung menutup telponnya.
“Kebiasaan banget sih, nelpon ga ngucap salam nutup juga ga pake salam.” Reina menghela nafas dengan membetulkan jilbabnya yang hampir berantakan dan memulai langkahnya untuk menuju tempat yang Khaira bilang tadi.

Entah apa yang Reina pikirkan, ia berjalan dengan perasaan yang sangat tidak karuan jantungnya berdebar-debar langkahnya langsung sedikit dipercepat.
“Masya Allah, kenapa jantung aku jadi dag dig dug gini kaya mau nyambut presiden aja sih ih.” Reina berbicara sendiri dengan hatinya.

Sesampainya didepan masjid, ia menunggu rombongan dari UI yang mau datang itu..
“ Loh mana katanya mau nyampe, udah 5 menit gue disini. Jangan-jangan Khaira salah ngasih informasi lagi.” Reina langsung mengambil handphone-nya namun sebelum ia menekan tombol call....
“Assalamualaikum, dik Reina yah ?” Reina langsung terkejut.
“Waalaikumsalam, ya ampun kakak ngangetin aja. Ka Raihan yah?”
“Iya maaf yah nganggetin, udah lama nunggunya ? maaf tadi kami ada sedikit masalah sama mobilnya.”
“Iya gapapa kok ka, yasudah kakak dan yang lainnya sudah ditunggu di aula kampus, mari saya antar.” Reina memperhatikan lelaki ini ia merasa tidak asing dengan lelaki yang ada dihadapannya.
“Saya ngga asing sama wajah kakak deh, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya Reina penasaran, dan laki-laki itu pun ternyata juga merasakan hal yang sama dengan Reina.

Namun Raihan hanya terdiam sambil mengingat-ingat apakah ia pernah bertemu dengan Reina.
“Aahh udahlah mungkin banyak yang mukanya kayak kakak hehe.” Reina mengalihkan pandangannya lalu Reina dan rombongan Raihan langsung menuju ke aula untuk diadakan mentoring dan seminar itu.

Setelah setengah jam berlalu di acara seminar tersebut, Reina memperhatikan Raihan yang sedari tadi berbicara depan umum dengan kelembutan suara yang menggema se-aula tersebut.
“Subhanallah, laki-laki itu ga cuma tampan, tapi imannya juga insya Allah kuat. Calon imam idaman bangeett.” Mata Reina langsung berdelik ke arah Khaira yang sedang setengah kehilangan sadar memperhatikan laki-laki yang disambut oleh Reina itu
“Masya Allah, Irraa.. tidak boleh kamu membayangkan laki-laki yang belom mahram.” Reina menepuk pundak Khaira.
“Astagfirullahalazim, khilaf aku Na. Hehe, abis mempesona banget si ka Raihan, nyesel aku kenapa bukan aku yang menyambutnya tadi.”
“Husshh, istigfar ah kamu..”
Khaira hanya tersenyum kecil dan memeluk sahabatnya itu.

Setelah satu jam, acara itu pun selesai bertepatan dengan azan maghrib..
“Reina Khaira, bapak boleh minta tolong lagi?” Suara pak Abdul mengejutkan Reina dan Khaira yang baru saja selesai sholat dan keluar dari Musholla.
“Masya Allah si bapak bikin kaget aja, iya ada apa pak?” Tanya Reina sambil merapihkan jilbabnya yang membuat dirinya semakin cantik.
“Tolong antarkan oleh-oleh ini kepada Raihan yah, dia ada di aula bapak tidak sempat bertemu karna bapak harus cepat pulang, tolong yah kamu antarkan.”
“ Oh baik pak, tenang dan beres.” Khaira mengacungkan jempolnya dan menarik tangan Reina untuk segera ke aula.
“ Tunggu-tunggu. Tolong sampaikan permintaan maaf dan salam bapak yah kepada nak Raihan.”
“ Siap pak, kami pergi dulu yah pak. Assalamualaikum.” Setelah itu mereka pun langsung menuju aula.

Di ruang tunggu disitu hanya ada Raihan dan kedua temannya..
“Assalamualaikum..” Sapa Reina saat membuka pintu aula.
“Waalaikumsallam.” Jawab Raihan dan kedua temannya.
“Boleh kami masuk?” Khaira langsung memasang tampang charmingnya.
“Ya silahkan, ada apa yah?” Tanya Fahri.
“Maaf menganggu, kami ingin mengantarkan titipan dari pak Abdul untuk kakak-kakak.” Khaira menyodorkan kotak yang lumayan berat itu kepada Fahri namun langsung diambil alih oleh Raihan.
“Sini biar saya saja yang membantu.” Tanya Fahri yang hampir meluluhkan Khaira itu.
“ Kata pak Abdul maaf tidak bisa bertemu dengan kakak karna beliau ada keperluan mendadak dan beliau menitip salam, semoga kakak-kakak tidak bosan berkunjung ke kempus kami.” Jelas Reina panjang lebar.
“ Oh iya tidak apa-apa. Salam balik juga ke pak Abdul.” Raihan pun tersenyum, dan seketika Reina pun tidak asing dengan senyuman itu tapi ia tidak terlalu menghiraukan itu.
“Baiklah, kami pamit pergi dulu. Assalamualaikum..” Reina dan Khaira pun membalik badan.
“Waalaikumsallam.” Baru beberapa Reina dan Khaira melangkah, Raihan melihat sebuah tasbih yang terjatuh dari tas Reina, dan tasbih itu tidak asing baginya, dia sigap meraih tasbih yang terjatuh itu.
“Dik Reina.” Raihan memanggil, dan Reina membalikkan badan jilbabnya setengah melayang karna tertiup angin, wajahnya sangat berseri-seri karena sering terkena air wudhu.

Jantung Raihan seketika berdegup kencang melihat begitu indahnya perempuan sholehah berada di hadapannya. “Subhanallah, betapa indahnya perempuan ini. Apakah ia jodohku?” Raihan berbicara lirih, mungkin hanya dirinya dan Allah swt yang mendengarnya.
“Iya ada apa yah ka?” Reina pun menghampiri Raihan yang teraku sejenak.
“ Ini tasbih kamu jatuh.” Raihan gugup, dan mengulurkan tasbih itu kepada Reina.
“Masya Allah, iya makasih yah kakak.” Tatapan Raihan semakin membuat Reina bingung, Raihan meneliti tasbih yang dipegang Reina tersbut.
“Ada apa ka? Ada yang aneh sama tasbih ini?”
“Coba kamu lihat bagian biji yang paling pertama ada ukiran inisial MR ngga?”
“ Iya ka ada, kenapa?” Tanya Reina yang semakin membuat jantungnya berdetak cepat kini.
“ Subhanallah, berarti benar itu milik saya yang pernah hilang 2 tahun lalu.” Reina tercengang, dan mencoba mengingat kejadian 2 tahun lalu sejak tasbih itu ia dapatkan dari laki-laki yang menolongnya itu.
“Ooohh berarti kakak yang menolong aku yah pas ban motor aku bocor?” Sekarang giliran Raihan yang mengingat-ingat.

Setelah ingat Raihan pun tertawa kecil yang membuat Reina pun tersenyum.
“Pantes aku ngga asing ngeliat kakak, ternyata memang kita pernah ketemu. Memang MR itu apa ka?”
“Itu inisial nama saya Muhammad Raihan.”
Disisi lain Khaira dan Fahmi hanya tercengang melihat mereka yang tiba-tiba saja akrab, mereka berdua pun jadi ikut tertawa.
Pertemuan yang tidak sengaja itu ternyata mengakrabkan mereka.

6 bulan kemudian, Reina diwisuda dengan gelar sarjana ekonominya.
Setelah Reina keluar dari aula, ia setengah berlalri kecil untuk berjumpa dengan orang tuanya tiba-tiba pundak Reina merasa sakit karena telah bertabrakan dengan seseorang yang juga sedang berlari.
“Reina.” Suara itu membuat Reina mengurungkan niat untuk mengeluarkan amarahnya, Reina langsung menaikkan mukanya.
“Ya Allah, kak Raihan? Kok bisa disini ?” Reina dan Raihan terlihat semeringah dan merona kedua pipi insan ciptaan Allah wa ajalla ini.
“Iya adik kakak juga lagi diwisuda, wah selamat yah udah jadi sarjana.”
“Iya makasih ka.” Tiba-tiba suasana menjadi hening seketika mereka saling salah tingkah, dan akhirnya Raihan mengutarakan isi hatinya.
“Rei, boleh aku berbicara suatu hal yang sedikit pribadi?”
“Iya ka ada apa?”
“Heemm, bolehkah aku mengenalmu lebih dekat dan insya Allah bisa menjadi imammu nanti jika kau izinkan?” Perasaan Reina menjadi tidak karuan rasa bahagia yang hari ini ia dapatkan tertumpuk dihati dan pikirannya membuat bibirnya kelu dan kaku.
Dan sekarang yang ia bisa lakukan hanya menganggukan kepala dan tersenyum kepada laki-laki idaman yang kini ada dihadapannya...

Ku Titipkan Dia PadaMU ( cerpen islami)


KU TITIPKAN DIA PADA-MU
Cerpen Putri Rahmawati

Pemuda itu namanya hamdan. Dia seorang pemuda yang tekun beribadah, rajin mengaji tidak banyak cakap tapi pekerja keras kalau kata iklan “talk less do more”, mudah bergaul, ramah, baik hati dan tidak sombong, gemar manabung ga ya??? Tapi dia bukan berasal dari keluarga ulama melainkan dari keluarga yang biasa-biasa saja semangat ibadahnya.

Dialah yang jadi penyemangat ibadah keluarganya. Pada suatu hari…di masjid hamdan biasa mengaji datanglah seorang gadis cantik, sholehah, dia juga seorang mubalighod. Gadis itu berasal dari kota sebrang. Ketika melihat gadis itu hati hamdan langsung bergetar tapi dengan cepat hamdan langsung menundukkan pandangan kemudian berpaling dari gadis itu, hamdan takut pandangannya berubah jadi nafsu yang di hias-hiasi syaiton.

Hamdan memang sangat taat beribadah termasuk dalam menjaga hatinya dari cinta yang belum waktunya. Memang gadis itu dambaan semua pria termasuk hamdan. Hamdan berkata dalam hati “Subhanalloh gadis itu cantik sekali tapi sayang aku bukan siapa-siapanya dan tidak berhak memandangnya terlalu lama”. Hari demi hari akhirnya hamdan kenal dan akrab dengan gadis itu karna setiap acara pengajian mereka selalu bertemu.

Owh iya lupa nama gadis itu dini. Dini mulai akrab dan terbiasa dengan teman-teman barunya termasuk hamdan. Hamdan pun senang karena bisa akrab dengan dini, tapi hamdan selalu berusaha menetralisir hatinya terhadap dini karena hamdan belum berani mengubah rasa senang itu menjadi cinta. Hamdan punya anggapan bahwa berani mencintai harus berani menikahi sehingga cinta itu bisa terjaga dari godaan syaiton, sedangkan pada saat itu hamdan merasa belum mampu untuk menikah.

Dalam do’anya hamdan selalu meminta pada Alloh, berikut isi do’a hamdan kepada Alloh :
“Ya Alloh aku menyukai seorang gadis bernama dini, tapi demi menjaga hatiku agar selalu tetap mencintaiMU, agar bisa jauh dari nafsu semata, agar tetap bisa menjalankan perintahMU bahwa jangan dekat-dekat dengan zina aku belum berani mencintainya, karena saat ini aku merasa belum mampu untuk menjadi halal baginya. Semua ini aku lakukan karena cintaku padaMU jauh lebih besar Ya Alloh jadi aku berusaha mengalahkan syaiton yang menggoda imanku dengan cintaMU. Maka dari itu aku menitipkan dia padaMU karna dia seutuhnya milikMU dan pada saat aku siap menjadi halal baginya dengan ridhoMU aku ingin meminta dia dariMU dan semoga engkau masih menjaganya untukku, jadikan dia jodoh yang baik bagiku. Saat ini aku ingin mempersiapkan diri menjadi pribadi yang lebih baik untuknya. Apabila di tengah jalan dia diambil orang itu semua di luar kuasaku melainkan di dalam kuasaMU, yang pasti demi menjaga hatiku pada Alloh aku sudah memintanya padaMU lebih dulu dan aku yakin Alloh meridhoi niat baikku ini…Amiiin”

Hari demi hari tidak ada hubungan yang special antara hamdan dan dini, tidak ada komunikasi yang berarti kecuali masalah-masalah penting mengenai kegiatan-kegiatan masjid. Dini pun sama sekali tidak merasa kalau hamdan menyukainya karna sikap hamdan yang biasa-biasa saja. Banyak pria yang mengungkapkan rasa cintanya pada dini, baik itu yang sudah siap nikah maupun hanya sekedar suka-sukaan, hamdan pun mengetahuinya namun dia tetap percaya pada do’anya dan membiarkan dini dengan pilihannya. Tapi ternyata di antara sekian banyak pria yang menyatakan cinta pada dini belum ada yang membuat dini tertarik karena pada saat itu dia juga belum siap untuk menikah. Akhirnya keberanian hamdan untuk mewujudkan keinginanya terkumpul sudah, dan pada saat itu sepengetahuan hamdan dini sedang tidak dekat dengan siapa-siapa, sehingga hamdan mulai merutinkan sholat iskhoroh untuk dini sampai kira-kira satu bulan lamanya. Setelah benar-benar merasa yakin hamdan memberanikan diri mengutarakan isi hatinya pada dini, bukan tentang perasaannya terhadap dini melainkan tentang niatnya untuk melamar dini. Pada saat itu hamdan menemui dini di rumahnya bersama temannya. “Assalamu’alaikum”
“Waalaikumussalam”
“Din bisa ganggu sebentar”
“Ada apa mas”
“Ada yang mau saya bicarakan”
“Owh ya udah masuk aja mas”
“Terimakasih”
“Ehhhmm gini din niat saya kesini mau menyampaikan sesuatu”
“Menyampaikan apa mas”
“Saya berniat melamar kamu din”

Pada saat dini mendengar niat hamdan untuk melamarnya dini kaget bukan kepalang. Selama ini hamdan tak pernah terlintas sama sekali di pikirannya apalagi di hatinya meskipun dia tau hamdan orang yang baik. Tapi dini berusaha menghargai niat hamdan, dia bertanya pada hamdan
“sampeyan benar-benar yakin mas mau melamar aku??”
“Iya saya yakin din”
“apapun hasilnya?”
“iya apapun hasilnya saya terima, itu semua di dalam kuasa Alloh saya hanya bisa mengusahakannya”
“Baiklah saya menghargai niat baik sampeyan, tapi saat ini saya belum siap menikah sampai tahun depan, kalau sampeyan mau menunggu saya silahkan tapi kalau engga juga ga apa-apa, jodoh itu kuasa Alloh”
“Baiklah saya terima keputusan kamu din, kita serahkan semua pada Alloh, terima kasih telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengutarakan niat baik saya ini”
“Iya sama-sama”
“Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”

Setelah mendengar jawaban dini hamdan dan temannya pamit pulang. Dalam hati hamdan sedih tapi dia juga senang karena pada dasarnya dini tidak menolaknya hanya menunda keputusannya, dia masih yakin dengan do’anya. Dini pun masih terkaget-kaget dengan sikap hamdan padanya, dia cerita dengan beberapa teman dekatnya mengenai hamdan. Teman-temannya yang juga mengenal hamdan menyarankan supaya dini menerima lamarannya. Dini pun bingung, akhirnya dia mencoba merutinkan istikhoroh untuk hamdan. Tapi lama kelamaan tidak ada kabar lagi dari hamdan. Seperti ada penyesalan di hati dini kenapa dulu tidak menerima lamaran hamdan karena sekarang dini merasa hamdan menjauh darinya. Akhirnya setelah beberapa bulan tidak ada kabar hamdan datang lagi pada dini dan masih mengutarakan niat yang sama. Dini pun merasa yakin bahwa hamdan tidak main-main, Akhirnya dini menerima lamaran hamdan dan mereka pun menikah dengan ridhonya Alloh. Hati mereka selama ini sama-sama terjaga hingga akhirnya di persatukan dalam ikatan yang suci

Cinta Laki-Laki Biasa (Asma Nadia)



CINTA LAKI-LAKI BIASA
Cerpen Asma Nadia

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***

Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat.